Hotman dan Inul Protes Tarif Pajak Hiburan Terlalu Tinggi
Bagaimana ketetapan tarif pajak hiburan sebenarnya yang diatur dalam UU HKPD ?
PERSINVESTIGASI.COM - Tarif pajak hiburan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) mendapat protes. Hal ini membuat Pengusaha Hiburan seperti artis Inul Daratista yang memiliki tempat karaoke dan juga pengacara kondang Hotman Paris menuai kritik atas ketetapan tarif pajak yang tinggi.
Inul memprotes karena menganggap tarif yang ditetapkan dalam UU HKPD minimal sebesar 40% dan paling tinggi 75% naik pesat dari yang selama ini ia ketahui sebesar 25%. Hotman juga menilai besaran tarif baru itu dapat mematikan industri di sektor pariwisata. Hotman diketahui pernah menjadi pemegang saham Hollywings.
"Pajak hiburan naik dari 25% ke 40-75% sing nggawe aturan mau ngajak modyar tah!!!!," tulis Inul, dikutip dari akun X, pada Senin (15/1/2024).
Lantas bagaimana ketetapan tarif pajak hiburan sebenarnya yang diatur dalam UU HKPD dan ketentuan sebelumnya?
Merujuk pada UU HKPD Nomor 1 Tahun 2022, pajak hiburan dikategorikan sebagai objek pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). Dalam Pasal 58 UU itu ditetapkan tarif PBJT paling tinggi 10%. Namun, khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu. Dalam hal tidak terdapat pembayaran, dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan. PBJT dalam UU itu dipungut oleh pemerintah kabupaten atau kota.
Dibanding ketentuan lama yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) Nomor 28 Tahun 2009, pajak hiburan juga merupakan jenis pajak kabupaten/kota. Namun, tidak menggunakan istilah PBJT dalam pengelompokannya seperti di UU HKPD.
Pasal 45 UU PDRD hanya menyebutkan, tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35%. Khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75%, tanpa menyebutkan batas tarif minimal seperti di UU HKPD.
Penetapan batas tarif minimal pajak hiburan dalam UU HKPD inilah yang menurut Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis atau CITA Fajry Akbar membuat berat pelaku usaha di sektor hiburan, dan membuat bingung daerah untuk menentukan tarif pajak hiburan yang sesuai dengan iklim industri dan kondisi perekonomian daerah pemungut.
"Karena ada ketentuan minimum 40% di UU HKPD jadi pada bingung semua, pengusaha teriak terlalu tinggi tapi Pemda-pun tak bisa berbuat banyak karena ditentukan dalam UU HKPD ditentukan minimum 40%," ujar Fajry kepada CNBC Indonesia.
Karena diatur oleh UU besaran tarifnya, Fajry menekankan maka juga membuat penyesuaian tarif minimal pajaknya menjadi sulit diubah. Opsi yang ada untuk perubahan hanya judicial review di Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang dilakukan oleh sejumlah asosiasi yang terdampak aturan itu.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (PK-TRI) Prianto Budi Saptono menambahkan, opsi yang harus ditanggung daerah untuk menyesuaikan tarif sesuai kondisi perekonomian pun menjadi sangat minimum, bahkan hanya tersisa pembebasan pengenaan pajaknya sama sekali atau beban tarif 40%.
"Besaran tarif 40%-75% itu merupakan keputusan politis antara DPR dan Pemerintah pusat sesuai Pasal 23A UUD 1945," tegas Prianto.
"Kalau pemerintah daerah (kabupaten/kota) tidak setuju, mereka tidak bisa menurunkan range tarif tersebut karena sudah ada pengaturannya di UU HKPD. Paling tidak, mereka (bupati/walikota dan DPRD) dapat sepakat untuk tidak menerapkan pajak hiburan," ungkapnya.
Menurut Prianto, jika pemda tertekan untuk mengambil keputusan penerapan tarif minimal 40% maka mereka harus mencari substitusi untuk mengisi pendapatan asli daerah (PAD) di masing-masing kota/Kabupaten. Pertimbangannya hanya dua, pajak berfungsi budgetair untuk meningkatkan penerimaan APBN/APBD, dan/atau fungsi regulerlend untuk mengatur perilaku masyarakat.
"Memang tarif tersebut cukup tinggi sehingga berpotensi penurunan konsumsi masyarakat atas hiburan. Akan tetapi, tarif tersebut hanya berlaku untuk jasa hiburan berupa diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa. Dengan kata lain, tarif pajak hiburan selain di atas masih tetap 10% paling tinggi," tegasnya.
Sumber : CNBC